Rabu, 15 Februari 2023

Koneksi Antarmateri- Modul 3.1

Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-Nilai Kebajikan Sebagai Pemimpin

Oleh                : Farida Haryati

PGP                 : Angkatan 6 Kota Jambi

 

"Di balik setiap kelambatanku mengambil keputusan, ada segudang perhitunganku karena ingin memastikan yang terbaik untukmu." (anonim)

Kalimat tersebut memotivasi kita sebagai pemimpin pembelajaran untuk mengambil suatu keputusan melalui pertimbangan yang matang agar menghasilkan keputusan yang terbaik untuk siswanya. Hal ini sejalan dengan kalimat bijak berikut:

"Ambillah keputusan dengan penuh pertimbangan. Jangan mengambil keputusan karena keputusasaan." (anonim)

Melalui dua kalimat bijak tersebut mengajarkan kita bahwa pengambilan suatu keputusan sangatlah penting, maka perlu pertimbangan yang baik agar menghasilkan keputusan yang terbaik pula. Sesuai dengan hal tersebut, berikut akan dijelaskan tentang pengambilan keputusan dan kaitannya dengan materi-materi yang telah dipelajari sebelumnya pada pendidikan guru penggerak.

Filosofi Ki Hadjar Dewantara dengan Pratap Trilokanya, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodho (Seorang pemimpin harus mampu memberi tauladan), Ing Madya Mangunkarsa (Seorang pemimpin juga harus mampu memberikan dorongan, semangat dan motivasi dari tengah), Tut Wuri Handayani (Seorang pemimpin harus mampu memberi dorongan dari belakang). Mengacu pada Pratap Triloka tersebut, maka pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan haruslah berpihak pada siswa, dapat mempertanggung jawabkannya dan mendasarkan keputusan pada nilai-nilai kebajikan universal, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar pengambilan keputusan.

Nilai mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, serta berpihak pada murid, sangat berpengaruh terhadap prinsip-prinsip dalam pengambilan keputusan. Nilai mandiri berkaitan dengan bagaimana pemimpin pembelajaran dapat mengambil keputusan yang tepat dan bertanggung jawab tanpa melibatkan orang lain/pihak lain. Nilai reflektif berkaitan dengan konsekuensi atau akibat dari suatu keputusan yang akan diambil, untuk itu seorang pemimpin pembelajaran perlu mencermati benar-benar suatu kasus sebelum mengambil suatu keputusan. Nilai kolaboratif berkaitan dengan suatu keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan dari beberapa orang, dengan memperhatikan prinsip, paradigma, dan langkah-langkah dalam pengambilan keputusan. Nilai inovatif berkaitan dengan keterampilan atau teknik yang dilakukan oleh pemimpin pembelajaran dalam pengambilan keputusan, sehingga keputusan tersebut tidak merugikan semua pihak. Dengan demikian, dalam mengambil keputusan haruslah didasarkan pada nilai-nilai kebajikan.

Materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan coaching (bimbingan) karena salah satu cara pemimpin pembelajaran untuk mengambil keputusan dapat dilakukan dengan teknik coaching. Mengapa demikian? Coaching merupakan teknik coach untuk menggali, mengidentifikasi, bahkan memutuskan sesuatu didasarkan hasil, kesadaran,  dan keinginan sendiri dari coachee-nya tanpa paksaan atau tuntutan apapun. Selain dengan teknik coaching, pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan juga harus memperhatikan prinsip, paradigm, dan langkah-langkah dalam pengambilan keputusan.

Pemimpin pembelajaran adalah manusia biasa yang terkadang berada pada kondisi yang tidak stabil. Ketika dihadapkan pada dilema etika, disinilah pemimpin pembelajaran harus benar-benar berada dalam kondisi yang baik, agar dapat mengambil keputusan yang tepat. Jika kondisi sosial emosionalnya dalam kondisi tidak baik, maka perlu melakukan Latihan Kesadaran Penuh (mindfullness) menggunakan teknik STOP, lakukan berulang kali agar kondisi kembali dalam keadaan baik, agar mampu mengambil sebuah keputusan yang tepat. Disinilah pentingnya pemimpin pembelajaran dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya karena sangat berpengaruh terhadap pengambilan suatu keputusan khususnya masalah dilema etika. Hal ini berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan yang dianut oleh pemimpin pembelajaran dalam membahas studi kasus yang fokusnya pada masalah moral atau etika. Begitu pula pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman. Agar dampak tersebut dapat tercapai, perlu perubahan dan sikap yang konsisten dalam melaksanakan visi dan misi sekolah, mewujudkan budaya positif, dan kesepakatan kelas atau sekolah yang telah ditetapkan.

Tantangan pasti ada tetapi tidak begitu signifikan karena dalam menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika, satuan pendidikan mempunyai tahapan dan proses yang harus dilalui sampai pada tahap pengambilan keputusan. Perubahan paradigma tetap ada sesuai dengan situasi yang dihadapi. Pengambilan keputusan sangat berpengaruh dengan pengajaran yang memerdekakan siswa karena keputusan harus berpihak kepada siswa dan dapat dipertanggung jawabkan. Dalam memutuskan pembelajaran yang tepat untuk potensi siswa yang berbeda-beda, dapat dilakukan dengan cara melibatkan siswa untuk menentukan dan memutuskan proses pembelajaran yang mereka inginkan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Dengan demikian, pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan harus memperhatikan paradigma yang terjadi pada situasi dilema etika karena dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan para siswa, terutama paradigma jangka pendek lawan jangka panjang dan paradigma rasa keadilan lawan rasa kasihan.

Berdasarkan uraian di atas, pengambilan keputusan memiliki kaitan yang erat dengan modul-modul sebelumnya. Alhamdulillah saya sudah memahami dan mengerti tentang konsep-konsep dilema etika dan bujukan moral yang telah dipelajari pada modul 3.1. Konsep-konsep tersebut terdiri dari tiga prinsip, yaitu Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking), Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking), dan Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking). Empat paradigma, yaitu individu lawan kelompok (individual vs community), rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy), kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty), dan Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term). Konsep berikutnya adalah sembilan langkah pengambilan dan pengujian keputusan. Hal di luar dugaan saya, ternyata dalam pengambilan keputusan dilakukan tahapan pengujian keputusan melalui uji legal, uji regulasi, uji intuisi, uji publikasi, uji panutan/idola, dan uji pradigma benar lawan salah.

Sebelum mempelajari modul ini, sebagai pemimpin pembalajaran, saya pernah mengambil keputusan dalam situasi moral dilema. Saya telah menggunakan prinsip dan paradigma pengambilan keputusan walaupun pada saat itu saya belum mengetahui konsep tersebut. Keputusan yang saya ambil tetap berpihak dan memikirkan masa depan siswa, Bedanya, sembilan langkah pengambilan keputusan tidak dilakukan secara berurutan dan belum melakukan pengujian keputusan. Konsep pengambilan keputusan yang saya pelajari sangat berdampak bagi saya dalam mengambil keputusan, setelah mempelajari modul ini, saya akan mengaplikasikan prinsip, paradigma, langkah-langkah pengambilan dan pengujian keputusan, agar keputusan yang saya ambil selalu berpihak pada siswa, dapat dipertangung jawabkan, dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan universal. Oleh karena itu, sebagai individu dan pemimpin pembelajaran, topik dalam modul ini sangat penting untuk saya pelajari agar saya dapat mengambil suatu keputusan yang tepat dan berkualitas.

Terima kasih

            Salam dan bahagia 

Minggu, 11 Desember 2022

Coaching untuk Supervisi Akademik

Koneksi Antarmateri_Modul 2.3

Oleh:   Farida Haryati

             CGP Angkatan 6, Kota Jambi

 

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarakatuh,

Salam dan bahagia bapak Ibu guru hebat, 

 

Coaching

        Kata yang sebagian kita pernah mendengarkan, pernah tahu, bahkan pernah melakukan pendekatan tersebut. Apa itu coaching? Beberapa ahli mengemukakan tentang definisi coaching.

1.     Coaching sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). 

2.     coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya (Whitmore, 2003).

3.     International Coach Federation mendefinisikan coaching sebagai"...bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif."

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa coaching adalah proses kolaborasi yang bersifat kemitraan antara coach dan coachee, agar coach dapat membantu memaksimalkan potensi coachee melalui stimulus dan eksplorasi pikiran dan proses kreatif sehingga mampu memaksimalkan kinerja coachee.

        Dalam konteks pendidikan coaching merupakan suatu proses komunikasi pembelajaran antara guru dan siswa, sesama rekan sejawat, bahkan antara kepala sekolah dengan guru. Untuk itu diperlukan  pemahaman tentang paradigma dalam berpikir coaching, yaitu:

1.     Fokus pada coachee/rekan yang akan dikembangkan

2.     Bersikap terbuka dan ingin tahu

3.     Memiliki kesadaran diri yang kuat

4.     Mampu melihat peluang baru dan masa depan

          Coaching merupakan salah satu bentuk pengembangan diri, yang dapat membantu atau memfasilitasi orang lain untuk menemukan solusi dari permasalahan yang mereka hadapi. Pendekatan  coaching, coach tidak serta merta memberikan solusi atas permasalahan coachee tetapi coach hanya menuntun coachee dengan mengajukan beberapa pertanyaan kreatif dan bermakna untuk menstimulus coachee sehingga coachee mampu menemukan sendiri potensinya sebagai upaya untuk memaksimalkan potensinya.

           Hal tersebut sesuai dengan prinsip coaching yaitu membangun kemitraan antara coach dengan coachee dalam posisi yang setara, proses kreatif dilakukan melalui percakapan dua arah, memicu proses berpikir coachee, dan memetakan dan menggali situasi coachee untuk menghasilkan ide-ide baru. Prinsip ketiga memaksimalkan potensi, melalui rencana tindak lanjut dan kesimpulan yang dinyatakan oleh rekan yang sedang dikembangkan.

         Acuan umum sebuah alur percakapan coaching yang akan membantu peran coach dalam membuat percakapan coaching menjadi efektif dan bermakna adalah alur TIRTA. Melalui alur percakapan coaching TIRTA, diharapkan dapat melakukan pendampingan baik kepada rekan sejawat maupun siswa. Tahapan alur TIRTA terdiri dari tujuan, identifikasi, rencana aksi, dan tanggung jawab.

     Berbicara coaching di awal pembelajaran masih membingungkan apalagi untuk melakasanakannya. Bagaimana menjadi coach dan bagaimana pula menjadi seorang coachee, namun dengan pencerahan dari fasilitator dan latihan yang dilakukan, perlahan-lahan coaching dapat berjalan dengan baik, walaupun masih ada bagian yang terlupakan. Akhirnya, selalu ingin mencoba untuk melakukan coaching, suatu hal yang asik dan menyenangkan.

            Coaching dalam Konteks Pendidikan Menurut Filosofi Ki Hadjar Dewantara adalah salah satu proses ‘menuntun’ belajar siswa untuk mencapai kekuatan kodratnya. Sebagai seorang ‘pamong’, guru dapat memberikan ‘tuntunan’ melalui percakapan yang memberdayakan agar kekuatan kodrat siswa terpancar dari dirinya. Mitra belajar, emansipasi, kasih dan persaudaraan, serta ruang perjumpaan pribadi, merupakan cara berpikir yang dapat melatih guru dalam menciptakan semangat Tut Wuri Handayani dalam proses komunikasi dan pembelajaran.

       Mengingat pentingnya manfaat pendekatan coaching dalam proses pembelajaran, terutama pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial emosional, maka sebagai seorang guru perlu memahami proses coaching dengan segala paradigma dan prinsipnya. Pendekatan coaching dapat dijadikan sarana untuk mengidentifikasi kebutuhan  belajar siswa sebagai dasar proses pelaksanaan pembelajaran sehingga dapat mengembangkan kekuatan dan potensi siswa. Dengan proses tersebut akan terwujud pembelajar yang merdeka untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Dengan pembelajaran sosial emosional, coach dan coachee dapat berinteraksi dengan sepenuhnya hadir dalam proses coaching, dapat mendengarkan dengan RASA, dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga dapat menimbulkan empati.

        Dengan proses coaching guru  dapat mengembangkan kompetensi diri sebagai pemimpin pembelajaran. Supervisi akademik merupakan serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memberikan dampak langsung pada guru dan kegiatan pembelajaran di kelas. Supervisi akademik bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru untuk pemberdayaan dan pengembangan kompetensi diri dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang berpihak pada siswa. Berbagai cara perlu dilakukan agar mampu menjadi guru yang memiiliki paradigma berpikir coaching, seperti belajar mandiri, berdiskusi, sharing, dan latihan menggunakan alur TIRTA, seolah-olah  sedang melakukan proses coaching antara coach dan coacheenya, hal ini dapat dilakukan oleh kepala sekolah dan guru, guru dan guru, bahkan guru dan siswa.

        Demikian, semoga bermanfaat, mari kita lakukan pendekatan coaching untuk pelaksanaan supervisi akademik, agar coach dapat menggali potensi-potensi yang dimiliki oleh coachee dan dapat mengembangkan potensi tersebut untuk peningkatan kualitas pembelajaran.

 

 

            

Minggu, 27 November 2022

Jurnal Refleksi-Modul 2.2

 

PEMBELAJARAN SOSIAL-EMOSIONAL

Farida Haryati, PGP Angkatan 6, Kota Jambi


 

Assalamualaikum wr. wb,

Salam dan Bahagia

 

Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah, kepala sekolah pendidik, siswa, tenaga kependidikan, orangtua siswa, dan warga sekolah lainnya. Pembelajaran sosial emosional berisi keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan siswa untuk dapat bertahan dalam masalah sekaligus memiliki kemampuan untuk memecahkannya, mengajarkan mereka menjadi orang yang baik, memberikan keseimbangan pada individu, dan mengembangkan kompetensi personal yang dibutuhkan untuk dapat menjadi sukses.

Pentingnya guru memahami dan menerapkan PSE untuk mengetahui bagaimana usaha guru untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa di sekolah tentang pengalaman apa yang diberikan kepada siswa, apa yang dipelajari siswa, dan bagaimana guru mendidik dan membimbing siswa untuk menyelesaikan permasalahannya. Dalam proses pembelajaran, PSE dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik, antara lain: identifikasi emosi, identifikasi perasaan, melukis dengan jari, bermain peran (role play), menulis ucapan terima kasih, membuat jurnal diri, dll. Teknik ini dapat dipadukan dalam RPP berdiferensiasi, sehingga diharapkan guru mampu menerapkan pembelajaran berdisferensiasi sesuai dengan profil belajar siswa, guna mewujudkan merdeka belajar.

Ruang Lingkup Pembelajaran Sosial Emosional

PSE dapat diberikan dalam tiga ruang lingkup, yaitu:

1.    Kegiatan rutin di luar pembelajaran akademik;

2.    Terintegrasi dalam mata pelajaran;

3.    Protokol, budaya, atau peraturan sekolah yang disepakati bersama.

 

Kompetensi Pembelajaran Sosial Emosional

Konsep Pembelajaran Sosial dan Emosional berdasarkan kerangka kerja CASEL  (Collaborative  for Academic, Social and Emotional Learning).

Lima kompetensi pembelajaran sosial emosional, yaitu:

1.    Kesadaran Diri, yaitu: kemampuan untuk memahami emosi, dan nilai-nilai diri sendiri, bagaimana pengaruhnya pada perilaku diri dalam berbagai situasi dan konteks kehidupan.

2.    Manajemen diri, yaitu: kemampuan untuk memahami emosi, pikiran, dan perilaku diri secara efektif dalam berbagai situasi, untuk mencapai tujuan dan aspirasi.

3.    Kesadaran Sosial, yaitu: kemampuan untuk memahmi sudut pandang dan dapat berempati dengan orang lain, yang berasal dari latar belakang budaya dan konteks yang berbeda-beda.

4.    Keterampilan Berelasi, yaitu: kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan-hubungan yang baik dan positif.

5.    Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab, yaitu: kemampuan untuk mengambil pilihan-pilihan membangun yang berdasar atas kepedulian, kapasitas dalam mempertimbangkan standar etis dan rasa aman dan untuk mengevaluasi manfaat dan konsekuensi dari berbagai tindakan dan perilaku untuk kesejahteraan psikologis diri sendiri, kelompok, dan masyarakat.

 

Apa itu mindfulness?

pemahaman  konsep kesadaran penuh  (mindfulness) sebagai dasar penguatan lima Kompetensi Sosial dan  Emosional  (KSE) yang akan memunculkan perasaan tenang, stres berkurang, pikiran menjadi jernih dan fokus, serta menjadi semangat dalam belajar serta bagaimana mengimplementasikan pembelajaran sosial emosional di kelas dan sekolah melalui empat indikator,  yaitu:

1.    Pengajaran eksplisit;

2.    Integrasi dalam  praktek mengajar guru dan kurikulum akademik;  

3.    Penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah;

4.    Penguatan  kompetensi sosial dan emosional  pendidik dan tenaga kependidikan (PTK)  di sekolah.

Mindfulness mengajarkan saya untuk hadir sepenuhnya dan menyadari keadaan terkini saya serta memberikan respons yang paling tepat dalam keadaan apapun, saya telah belajar untuk mengurangi kebiasaan menuntut, memaksa,  dan  lebih banyak bersabar dan bersyukur akan segala sesuatu.

 

Apa itu Well-Being?

Menurut Kamus Oxford English Dictionary, well-being dapat diartikan sebagai kondisi nyaman, sehat, dan bahagia. Well-being adalah suatu kondisi individu yang memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat memenuhi kebutuhan dirinya dengan menciptkan dan mengelola lingkungan dengan baik, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya.

Noble and McGrath (2016) menyebutkan bahwa well-being murid yang optimal adalah keadaan emosional yang berkelanjutan (relatif stabil) yang ditandai dengan sikap dan suasana hati yang secara umum positif, relasi yang positif dengan sesame murid dan guru, resiliensi, optimalisasi diri, dan tingkat kepuasan diri yang tinggi berkaitan dengan pengalaman belajar mereka di sekolah.

 

Pembelajaran sosial emosional juga berkaitan erat dengan filosofi Ki Hajar Dewantara, yaitu pendidik harus menuntun tumbuh kembang anak, sesuai dengan kodrat alam dan zamannya, pembelajaran yang berpusat pada anak. Pembelajaran sosial emosional merupakan langkah untuk mewujudkan well being sehingga pada komunitas sekolah akan terwujud sekolah yang nyaman, aman, dan akan tercapai kebahagiaan dan keselamatan anak setinggi-tingginya sesuai dengan yang diamanatkan KHD.

Pembelajaran sosial emosional dengan nilai guru penggerak memiliki kaitan, dimana untuk mewujudkan pembelajaran sosial emosional peran guru sangatlah penting. Guru dapat menumbuhkan nilai dan perannya dalam mengelola kompetensi  sosial dan emosi siswa  sehingga nilai kemandirian dan pembelajaran yang berpusat pada siswa serta peran guru penggerak sebagai pemimpin pembelajaran dan mendorong kolaborasi dapat tercapai, berjalan dengan baik dan seimbang.

Pembelajaran sosial emosional dengan visi siswa merdeka kaitannya dengan menerapkan teknik  PSE, guru dapat membentuk karakter siswa yang beriman, merdeka berekspresi, bahagia, kreatif, mandiri, dan menjadi pembelajar sejati, hal ini merupakan langkah untuk mewujudkan visi terciptanya profil pelajar pancasila melalui proses pembelajaran tentang kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, kemampuan berelasi serta pengambilan keputusan bertanggung jawab.

Melalui pembelajaran sosial emosional,  guru dan siswa dapat mengenali dan memahami emosi masing-masing yang sedang dirasakan sehingga mampu mengotrol diri dan dapat menerapkan disiplin positif dengan baik berdasarkan kesadaran diri (self awareness). Pembelajaran sosial emosionalpun dalam pelaksanaannya dapat mengontrol diri kita untuk menciptakan budaya positif di sekolah dengan memandang perbedaan individu melalui pembelajaran berdeferensiasi.

Melalui pembelajaran sosial emosional guru dan siswa memiliki kemampuan mengelola emosi, maka pembelajaran berdisferensiasi dapat dilaksanakan dengan baik pula. Apabila seorang guru memahami tentang PSE, maka dalam melaksanakan strategi pembelajaran berdisferensiasi, guru dapat memilih teknik pembelajaran yang tepat. Dalam proses pembelajaran sering terjadi kesalahan dalam berinteraksi sosial siswa, maka dengan teknik PSE dapat membantu guru untuk memudahkan solusi dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.

Jumat, 21 Oktober 2022

Koneksi Antar Materi

Modul 1.4

Budaya Positif

 

Oleh Farida Haryati

CGP Angkatan 6 Kota Jambi

Berdasarkan  tujuan pendidikan yang  dijelaskan  oleh Ki Hajar Dewantara yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Maka, pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak. Dalam proses "menuntun/membimbing", anak diberi kebebasan dan pendidik sebagai 'pamong' dalam memberi tuntunan dan arahan harus berpedoman pada nilai-nilai pengajaran, agar anak didik tidak kehilangan arah dan akan membahayakan dirinya. Seorang pendidik akan memberikan 'tuntunan' agar anak didik dapat menemukan kemerdekaan dan kebebasannya dalam proses pembelajaran sehingga dengan memperbaiki lakunya, dapat menumbuhkan dan mengembangkan karakter positif sehingga menjadi budaya  positif di sekolah. 

Filosofis pendidikan KHD merupakan pondasi atau acuan yang harus dipahami dan dikuatkan oleh seluruh pendidik agar tujuan pendidikan mewujudkan profil pelajar Pancasila bisa tercapai. Sesuai dengan apa yang sudah dipelajari pada modul 1.1, bahwa anak didik adalah makhluk yang unik, biarkan mereka berkembang sesuai dengan kodrat alam dan zamannya.

Untuk itu seorang pendidik harus memiliki peran dan nilai-nilai yang dikembangkan sehingga dapat membimbing anak didik untuk berproses menuju kebaikan dan mereka mampu mengembangkan kemampuan yang dimiliki sesuai dengan minat, bakat, kodrat alam, dan zamannya. Adapun nilai-nilai yang perlu ditingkatkan dan diwujudkan oleh pendidik, yaitu berpihak pada anak didik, mandiri, kolaboratif, inovatif, dan reflektif. Hal ini sudah kita pelajari pada modul 1.2 tentang nilai-nilai dan peran guru penggerak.

Berkaitan dengan hal tersebut, pendidik harus bisa merumuskan visi sekolahnya, kekuatan apa yang dapat dijadikan visi sekolah atau kelemahan apa yang bisa ditingkatkan agar menjadi visi sekolah. Mengenai visi, pendidik  perlu merumuskan sesuai dengan kondisi sekolah, baik kondisi siswanya, sarana dan prasana, atau hal lain yang dapat dijadikan acuan, seperti budaya positif yang sudah diterapkan di sekolah tersebut. Pada pembelajaran modul 1.3 hal ini sudah di kupas tuntas, tinggal bagaimana seorang pendidik dapat merumuskan visi tentunya berdasarkan Profil Pelajar Pancasila sesuai dengan impian yang diinginkannya.

Berbicara tentang budaya positif yang telah dipelajari pada modul 1.4, ada banyak hal yang mengubah  paradigma saya sebagai pendidik. Bahwasanya setiap manusia tidak bisa dikontrol oleh orang lain, hanya kita sendiri yang bisa mengontrol diri kita untuk mencapai tujuan mulia berdasarkan nilai-nilai yang dihargai karena setiap manusia memiliki kebutuhan dasarnya masing-masing yang tidak akan sama dengan yang lainnya, seperti kasih sayang, rasa diterima, penguasaan, kesenangan, dan kebebasan.

Setiap manusia melakukan sesuatu atau melakukan perilaku tertentu pasti memiliki tujuan. Anak didik juga demikian, apabila mereka diberikan hukuman atau untuk mendapatkan penghargaan/hadiah, maka anak didik akan melakukannya hanya dalam batas waktu tertentu saja, karena mereka termotivasi secara eksternal. Lain halnya, apabila anak didik diberikan nilai-nilai kebajikan sehingga menjadi keyakinan mereka dan motivasinya secara instrinsik, maka mereka menyadari kesalahannya dan tidak akan mengulangi lagi.

Untuk itu seorang pendidik perlu mengetahui posisi kontrol yang baik dalam meneyelesaikan permasalahan atau kesalahan dari anak didik. Sebagai pendidik terkadang berposisi sebagai kontrol penghukum dan pembuat merasa bersalah. Dengan mempelajari budaya positif ini, sekarang perlahan-lahan berposisi sebagai teman dan pemantau, dan berusaha untuk menjadi posisi kontrol yang tertinggi, yaitu sebagai manajer dengan menerapkan segitiga restitusi terhadap anak didik yang melakukan kesalahan atau pelanggaran peraturan sekolah, agar mereka tidak merasa bersalah, dapat menemukan sendiri solusinya, dan kembali komunitasnya dengan menerapkan keyakinan yang diyakininya.

Kemudian untuk menumbuhkan budaya positif di kelas atau di sekolah, sebaiknya menciptakan program kebajikan, pembentukan keyakinan kelas/sekolah. Melalui peraturan dan nilai kebajikan yang dituju akan mempermudah anak didik untuk melaksanakannya. Peraturan sebaiknya yang biasa ditemukan di komunitas kelas/sekolah. Seperti kembalikan barang ke tempatnya, nilai kebajikan yang dituju adalah rasa tanggung jawab, bergantian atau menunggu giliran nilai kebaikan yang dituju adalah menghormati orang lain dan bersabar, dll.

Tadi siang telah menyelesaikan permasalahan atau kesalahan yang dilakukan oleh anak didik, yaitu mengerjakan PR mata pelajaran seni budaya pada saat jam pelajaran bahasa Indonesia. Akhirnya, sepulang sekolah, anak didik tersebut dipanggil ke ruangan saya menanyakan perihal tersebut. Anak didik diminta untuk bercerita tentang kaselahannya, kemudian ditanya apakah yang dilakukan itu salah atau benar? Akhirnya, anak didik meminta maaf, tetapi maaf saja belum cukup, karena setiap manusia bisa saja berbuat salah, hal itu adalah manusiawi. Kemudian anak didik ditanya tentang usul atau sarannya untuk perbaikan kesalahannya. Akhirnya, anak didik mengemukakan usul dan sarannya dan ucapan terima kasih dari pendidik karena anak didiknya sudah berkomintmen dan menyakini kesepakatan yang sudah dilakukannya. Setelah melakukan hal tersebut ada kebahagian tersendiri, secara tidak langsung saya sudah mencoba untuk menerapkan segitiga restitusi, walaupun belum sempurna.

Terkait dengan pengalaman tersebut ada hal baik yang sudah dilakukan, yaitu sudah mulai menerapkan segitiga restitusi. Ada beberapa hal lagi yang perlu dipahami dan dipelajari, yaitu tahapan yang benar dalam melakukan segitiga restitusi. Semoga ilmu yang disampaikan fasilitator dan instruktur menambah khasanah tentang penerapan restitusi.

Seperti yang sudah disampaikan di atas, sebagai pendidik saya cenderung menggunakan empat posisi kontrol, pada umumnya tergantung dari tingkat kesalahan yang dilakukan oleh anak didik. Adapun posisi kontrol tersebut adalah sebagai penghukum, pembuat merasa bersalah, teman, dan pemantau. Perasaan saat itu biasa saja karena kita berpedoman pada tata tertib sekolah bukan pada keyakinan yang disepakati oleh anak didik. Setelah mempelajari modul ini, perlahan-lahan mulai menggunakan posisi kontrol sebagai manajer, tentunya dengan menggunakan posisi ini kita menjadi nyaman karena tidak menyakiti anak didik, baik secara psikis atau fisik. Perbedaannya cukup signifikan, dimana segitiga restitusi akan mengembalikan anak didik ke komunitasnya sesuai dengan yang mereka yakini.

Sebelum mempelajari modul ini, belum pernah melaksanakan segitiga restitusi dalam menangani permasalahan anak didik. Dengan mempelajari modul ini banyak hal tentang konsep-konsep budaya positif yang diketahui, teori motivasi, hukuman, dan penghargaan, kebutuhan dasar manusia, Restitusi dengan lima posisi kontrolnya, segitiga restitusi, dan keyakinan kelas. Konsep-konsep tersebut menjadi dasar atau pijakan untuk menerapkan budaya positif di sekolah.

 


Kamis, 08 September 2022

Kesimpulan dan Refleksi Filosofi KHD

Kesimpulan dan Refleksi Modul 1.1

             Saya percaya bahwa peserta didik memiliki kemampuan bernalar yang hampir sama dan punya keinginan belajar yang sama juga, maka dalam setiap proses pembelajaran, saya selalu menuntut mereka semua untuk mampu memahami dan dapat mengerjakan tugas yang diberikan. Dalam proses pembelajaran, saya cenderung lebih banyak atau dominan berperan di depan kelas dibandingkan peserta didik bahkan saya terkadang tidak dapat memperhatikan peserta didik yang memiliki masalah dalam pembelajaran atau tidak fokus dalam belajar karena kendala interen maupun kendala eksteren. Proses pembelajaran masih banyak dilakukan di dalam kelas dan untuk mencapai tujuan pembelajaran masih bersifat klasikal. Dalam arti kata, saya lebih banyak menuntut peserta didik untuk melaksanakan apa yang saya inginkan dalam proses pembelajaran.

             Ternyata apa yang saya lakukan dalam proses pembelajaran selama ini, belum mencerminkan pemikiran KHD yang sesungguhnya. Setelah mempelajari modul ini pemikiran atau perilaku saya mulai berubah tentang peserta didik, ternyata mereka adalah makhluk yang unik, memiliki minat dan bakat, kemampuan dalam menyerap pembelajaran, gaya belajar yang berbeda-beda, kemudian mereka juga berasal dari lingkungan berinteksi yang beragam pula.Dalam arti kata peserta didik berasal dari kodrat alam, kodrat zaman, dan kodrat tanah air yang berbeda-beda. Sebagai guru, saya harus menuntun atau mengarahkan peserta didik dalam proses pembelajaran agar mereka dapat  mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Saya harus memperhatikan peserta didik berdasarkan kodratnya masing-masing dan dalam pembelajaran peserta didik harus banyak berperan dibandingkan gurunya.

             Kemudian saya juga lebih memahami tentang semboyan pendidikan KHD, yaitu:

1.      Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan selalu memberi contoh, panutan, dan teladan)

Semboyan ini bermakna bahwa pendidik harus memberi contoh, panutan, dan teladan yang baik dalam berkata, bersikap, dan bertindak, baik dalam pembelajaran maupun dalam lingkungan masyarakat. Hal ini, untuk mengupayakan bimbingan kepada peserta didik agar mereka melaksanakannya dalam pembelajaran dan kelak menjadi pemimpin yang dapat dijadikan teladan yang baik.

 2.      Ing Madyo Mangun Karso (di tengan harus memotivasi, membangun kekuatan untuk berkarya)

Semboyan ini bermakna bahwa pendidik harus mampu memotivasi dan membangun kekuatan yang dimiliki peserta didik untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Pendidik juga dapat menyesuaikan teknik, strategi, dan metode pembelajaran yang beragam untuk memotivasi peserta didik dalam proses pembelajaran. Pendidik juga harus menumbuhkan semangat peserta didik untuk menghasilkan karya yang bermanfaat.

 3.      Tut Wuri Handayani (di belakang memberikan dorongan atau dukungan)

Semboyan ini memiliki makna bahwa pendidik harus memberikan arahan dan tuntunan kepada peserta didik untuk belajar dengan baik sesuai dengan bakat dan minatnya sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

             Proses pembelajaran yang akan saya terapkan cenderung berfokus pada peserta didik, perlu mengetahui lebih awal kemampuan, bakat dan minat belajar mereka agar proses pembelajaran dapat berjalan seperti yang diharapkan. Kegiatan pembelajaran akan disesuaikan dengan materi ajar dan tempat pelaksanaannya, agar peserta didik dapat melaksanakan secara nyata sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai 

Koneksi Antarmateri- Modul 3.1

Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-Nilai Kebajikan Sebagai Pemimpin Oleh                : Farida Haryati PGP                 : Angkata...