Modul
1.4
Budaya
Positif
Oleh Farida Haryati
CGP Angkatan 6 Kota Jambi
Berdasarkan tujuan pendidikan yang dijelaskan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Maka, pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak. Dalam proses "menuntun/membimbing", anak diberi kebebasan dan pendidik sebagai 'pamong' dalam memberi tuntunan dan arahan harus berpedoman pada nilai-nilai pengajaran, agar anak didik tidak kehilangan arah dan akan membahayakan dirinya. Seorang pendidik akan memberikan 'tuntunan' agar anak didik dapat menemukan kemerdekaan dan kebebasannya dalam proses pembelajaran sehingga dengan memperbaiki lakunya, dapat menumbuhkan dan mengembangkan karakter positif sehingga menjadi budaya positif di sekolah.
Filosofis
pendidikan KHD merupakan pondasi atau acuan yang harus dipahami dan dikuatkan
oleh seluruh pendidik agar tujuan pendidikan mewujudkan profil pelajar
Pancasila bisa tercapai. Sesuai dengan apa yang sudah dipelajari pada modul
1.1, bahwa anak didik adalah makhluk yang unik, biarkan mereka berkembang
sesuai dengan kodrat alam dan zamannya.
Untuk
itu seorang pendidik harus memiliki peran dan nilai-nilai yang dikembangkan
sehingga dapat membimbing anak didik untuk berproses menuju kebaikan dan mereka
mampu mengembangkan kemampuan yang dimiliki sesuai dengan minat, bakat, kodrat
alam, dan zamannya. Adapun nilai-nilai yang perlu ditingkatkan dan diwujudkan
oleh pendidik, yaitu berpihak pada anak didik, mandiri, kolaboratif, inovatif,
dan reflektif. Hal ini sudah kita pelajari pada modul 1.2 tentang nilai-nilai
dan peran guru penggerak.
Berkaitan
dengan hal tersebut, pendidik harus bisa merumuskan visi sekolahnya, kekuatan
apa yang dapat dijadikan visi sekolah atau kelemahan apa yang bisa ditingkatkan
agar menjadi visi sekolah. Mengenai visi, pendidik perlu merumuskan sesuai dengan kondisi
sekolah, baik kondisi siswanya, sarana dan prasana, atau hal lain yang dapat
dijadikan acuan, seperti budaya positif yang sudah diterapkan di sekolah
tersebut. Pada pembelajaran modul 1.3 hal ini sudah di kupas tuntas, tinggal
bagaimana seorang pendidik dapat merumuskan visi tentunya berdasarkan Profil
Pelajar Pancasila sesuai dengan impian yang diinginkannya.
Berbicara
tentang budaya positif yang telah dipelajari pada modul 1.4, ada banyak hal
yang mengubah paradigma saya sebagai
pendidik. Bahwasanya setiap manusia tidak bisa dikontrol oleh orang lain, hanya
kita sendiri yang bisa mengontrol diri kita untuk mencapai tujuan mulia berdasarkan
nilai-nilai yang dihargai karena setiap manusia memiliki kebutuhan dasarnya masing-masing
yang tidak akan sama dengan yang lainnya, seperti kasih sayang, rasa diterima,
penguasaan, kesenangan, dan kebebasan.
Setiap
manusia melakukan sesuatu atau melakukan perilaku tertentu pasti memiliki
tujuan. Anak didik juga demikian, apabila mereka diberikan hukuman atau untuk
mendapatkan penghargaan/hadiah, maka anak didik akan melakukannya hanya dalam
batas waktu tertentu saja, karena mereka termotivasi secara eksternal. Lain
halnya, apabila anak didik diberikan nilai-nilai kebajikan sehingga menjadi
keyakinan mereka dan motivasinya secara instrinsik, maka mereka menyadari
kesalahannya dan tidak akan mengulangi lagi.
Untuk
itu seorang pendidik perlu mengetahui posisi kontrol yang baik dalam meneyelesaikan
permasalahan atau kesalahan dari anak didik. Sebagai pendidik terkadang
berposisi sebagai kontrol penghukum dan pembuat merasa bersalah. Dengan
mempelajari budaya positif ini, sekarang perlahan-lahan berposisi sebagai teman
dan pemantau, dan berusaha untuk menjadi posisi kontrol yang tertinggi, yaitu
sebagai manajer dengan menerapkan segitiga restitusi terhadap anak didik yang
melakukan kesalahan atau pelanggaran peraturan sekolah, agar mereka tidak
merasa bersalah, dapat menemukan sendiri solusinya, dan kembali komunitasnya
dengan menerapkan keyakinan yang diyakininya.
Kemudian
untuk menumbuhkan budaya positif di kelas atau di sekolah, sebaiknya menciptakan
program kebajikan, pembentukan keyakinan kelas/sekolah. Melalui peraturan dan
nilai kebajikan yang dituju akan mempermudah anak didik untuk melaksanakannya.
Peraturan sebaiknya yang biasa ditemukan di komunitas kelas/sekolah. Seperti
kembalikan barang ke tempatnya, nilai kebajikan yang dituju adalah rasa
tanggung jawab, bergantian atau menunggu giliran nilai kebaikan yang dituju
adalah menghormati orang lain dan bersabar, dll.
Tadi
siang telah menyelesaikan permasalahan atau kesalahan yang dilakukan oleh anak
didik, yaitu mengerjakan PR mata pelajaran seni budaya pada saat jam pelajaran
bahasa Indonesia. Akhirnya, sepulang sekolah, anak didik tersebut dipanggil ke
ruangan saya menanyakan perihal tersebut. Anak didik diminta untuk bercerita
tentang kaselahannya, kemudian ditanya apakah yang dilakukan itu salah atau
benar? Akhirnya, anak didik meminta maaf, tetapi maaf saja belum cukup, karena
setiap manusia bisa saja berbuat salah, hal itu adalah manusiawi. Kemudian anak
didik ditanya tentang usul atau sarannya untuk perbaikan kesalahannya.
Akhirnya, anak didik mengemukakan usul dan sarannya dan ucapan terima kasih
dari pendidik karena anak didiknya sudah berkomintmen dan menyakini kesepakatan
yang sudah dilakukannya. Setelah melakukan hal tersebut ada kebahagian
tersendiri, secara tidak langsung saya sudah mencoba untuk menerapkan segitiga
restitusi, walaupun belum sempurna.
Terkait
dengan pengalaman tersebut ada hal baik yang sudah dilakukan, yaitu sudah mulai
menerapkan segitiga restitusi. Ada beberapa hal lagi yang perlu dipahami dan
dipelajari, yaitu tahapan yang benar dalam melakukan segitiga restitusi. Semoga
ilmu yang disampaikan fasilitator dan instruktur menambah khasanah tentang
penerapan restitusi.
Seperti
yang sudah disampaikan di atas, sebagai pendidik saya cenderung menggunakan
empat posisi kontrol, pada umumnya tergantung dari tingkat kesalahan yang
dilakukan oleh anak didik. Adapun posisi kontrol tersebut adalah sebagai
penghukum, pembuat merasa bersalah, teman, dan pemantau. Perasaan saat itu
biasa saja karena kita berpedoman pada tata tertib sekolah bukan pada keyakinan yang disepakati oleh anak didik. Setelah mempelajari modul ini, perlahan-lahan
mulai menggunakan posisi kontrol sebagai manajer, tentunya dengan menggunakan
posisi ini kita menjadi nyaman karena tidak menyakiti anak didik, baik secara
psikis atau fisik. Perbedaannya cukup signifikan, dimana segitiga restitusi
akan mengembalikan anak didik ke komunitasnya sesuai dengan yang mereka yakini.
Sebelum
mempelajari modul ini, belum pernah melaksanakan segitiga restitusi dalam
menangani permasalahan anak didik. Dengan mempelajari modul ini banyak hal
tentang konsep-konsep budaya positif yang diketahui, teori motivasi, hukuman,
dan penghargaan, kebutuhan dasar manusia, Restitusi dengan lima posisi
kontrolnya, segitiga restitusi, dan keyakinan kelas. Konsep-konsep tersebut
menjadi dasar atau pijakan untuk menerapkan budaya positif di sekolah.